Rss Feed

Wanita Menawarkan Diri, Bolehkah?


“Saya ingin menghibahkan diri kepada si Fulan”, demikian keinginan yang terucap dari seorang wanita. Ungkapan seperti ini tidak hanya sekali dua kali kita mendengarnya dan dinyatakan oleh lebih dari dua, tiga wanita.

Mereka berdalil dengan para sahabiyah yang menawarkan diri mereka untuk dinikahi oleh seorang yang shalih ataupun ditawarkan oleh para wali mereka. Namun sebenarnya ungkapan “menghibahkan diri” tidaklah tepat, bahkan tidak halal bagi seorang wanita menghibahkan dirinya kepada seorang lelaki.
Yang pantas mereka nyatakan adalah ingin menawarkan diri kepada orang shalih, dan ini dibolehkan sebagaimana pernah kami angkat dalam rubrik ini juga, pada edisi yang telah lalu.
Menghibahkan diri kepada seorang lelaki tidaklah dibolehkan karena dipahami bahwa nantinya si lelaki menikahi si wanita tanpa mahar dan tanpa wali. Yang seperti ini hanya berlaku secara khusus bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak bagi umat beliau. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang hal ini ketika menyebutkan wanita-wanita yang halal dinikahi oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamٍٍ:
وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“(Dan dihalalkan pula bagi Nabi ) wanita mukminah yang menghibahkan dirinya kepada Nabi jika memang Nabi berkeinginan untuk menikahinya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua kaum mukminin.” (Al-Ahzab: 50)
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam tafsirnya setelah membawakan ayat وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: ‘Kami menghalalkan bagi Nabi, wanita mukminah yang menghibahkan dirinya kepada beliau tanpa mahar’.”
Ibnu Jarir melanjutkan, “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bila Nabi-Nya berkenan menikahi wanita tersebut maka hal itu halal bagi beliau tanpa mahar, sebagai pengkhususan bagimu, yang berarti tidak halal bagi seorang pun dari umatmu untuk mendekati wanita yang menghibahkan dirinya kepadanya. Hukum ini hanyalah untukmu wahai Muhammad secara khusus, yang Aku khususkan bagimu dan tidak berlaku bagi seluruh umatmu.”
Kemudian Ibnu Jarir membawakan sanadnya sampai kepada Qatadah tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ, kata Qatadah, “Tidak boleh seorang wanita menghibahkan dirinya kepada seorang lelaki tanpa wali dan tanpa mahar, kecuali kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini merupakan kekhususan bagi beliau dan tidak berlaku bagi orang lain…” (Jami’ul Bayan, 10/310)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu mengatakan, “Ulama sepakat tentang tidak bolehnya seorang wanita menghibahkan dirinya. Dengan lafadz hibah ini1, tidaklah sempurna suatu pernikahan, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan murid-muridnya. Mereka berkata, ‘Apabila seorang wanita menghibahkan dirinya kepada seorang lelaki lalu si lelaki mempersaksikan bahwa dirinya akan memberikan mahar kepada si wanita maka hal ini dibolehkan’.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 14/136)
Asy-Syaukani rahimahullahu menambahkan, “Adapun bila tanpa mahar maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa hal itu khusus bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fathul Qadir, 4/350)
Ikrimah, Mujahid, Asy-Sya’bi, dan selain mereka, semuanya menyatakan bila ada seorang wanita menyerahkan dirinya kepada seorang lelaki maka kapan lelaki itu masuk berduaan (dukhul) dengan si wanita, wajib baginya menyerahkan mahar yang biasa diterima oleh wanita semisalnya. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/273)
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menetapkan hal ini kepada Barwa’ bintu Wasyiq, istri Hilal bin Murrah Al-Asyja’i. Barwa’ ini menghibahkan dirinya kepada Hilal yang kemudian menikahinya tanpa menyebutkan adanya mahar. Namun Hilal meninggal sebelum sempat menggauli istrinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan mahar untuk Barwa’ dengan mahar yang biasa diterima oleh wanita semisalnya. (Al-Isti’ab fi Asma`il Ashhab 2/491, Al-Ishabah fi Tamyizis Shahabah, 8/49)
Adapun bila seorang wanita menyerahkan dirinya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak ada sesuatu pun yang wajib beliau berikan kepada si wanita sekalipun beliau sampai dukhul dengannya. Karena beliau boleh menikah tanpa mahar, tanpa wali, dan tanpa saksi-saksi sebagaimana yang terjadi dalam kisah pernikahan/dukhulnya beliau dengan Zainab bintu Jahsyin radhiyallahu ‘anha seperti yang dikisahkan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
لمَاَّ انْقَضَتْ عِدَّةُ زَيْنَبَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِزَيْدٍ: فَاذْكُرْهَا عَلَيَّ. قَالَ: فَانْطَلَقَ زَيْدٌ حَتَّى أَتَاهَا وَهِيَ تُخَمِّرُ عَجِيْنَهَا. قَالَ: فَلَمَّا رَأَيْتُهَا عَظُمَتْ فِي صَدْرِيْ، حَتَّى مَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَنْظُرَ إِلَيْهَا أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم ذَكَرَهَا، فَوَلَّيْتُهَا ظَهْرِيْ وَنَكَصْتُ عَلَى عَقِبِيْ، فَقُلْتُ: يَا زَيْنَبُ، أَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَذْكُرُكِ. قَالَتْ: مَا أَنَا بِصَانِعَةٍ شَيْئًا حَتَّى أُوَامِرَ رَبِّي. فَقَامَتْ إِلَى مَسْجِدِهَا، وَنَزَلَ الْقُرْآنُ، وَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَدَخَلَ عَلَيْهَا بِغَيْرِ إِذْنٍ
Tatkala selesai masa iddahnya Zainab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, “Pinangkan dia untukku dengan menyampaikan langsung kepadanya.” Anas berkata, “Pergilah Zaid hingga datang ke tempat Zainab yang ketika itu sedang memberi ragi adonan rotinya. Kata Zaid, “Ketika aku melihatnya, terasa agungnya dia dalam dadaku2, sampai-sampai aku tidak mampu memandangnya dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dirinya (ingin menikahinya). Aku pun membelakanginya dengan punggungku dan mundur ke belakang3. Aku katakan, “Wahai Zainab! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk melamarmu.” Zainab menjawab, “Aku tidak akan melakukan apa-apa sampai aku beristikharah dengan Rabbku.” Zainab pun bangkit menuju ke tempat shalatnya dan ayat Al-Qur`an turun4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang lalu masuk menemui Zainab tanpa meminta izin.” (HR. Muslim no. 3488)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menyinggung kekhususan hukum ini untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Wanita yang pernah menghibahkan dirinya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak. Sebagaimana kata Al-Imam Al-Bukhari: ‘Telah menyampaikan kepada kami Zakariya bin Yahya, ia berkata: Telah menyampaikan kepada kami Abu Usamah, ia berkata: ‘Telah menyampaikan kepada kami Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
كُنْتُ أَغَارُ مِنَ اللَّاتِي وَهَبْنَ أَنْفُسَهُنَّ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَقُوْلُ: أَتَهِبُ الْمَرْأَةُ نَفْسُهَا؟ فَلَمَّا أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: تُرْجِي مَنْ تَشَاءُ مِنْهُنَّ وَتُؤْوِي إِلَيْكَ مَنْ تَشَاءُ وَمَنِ ابْتَغَيْتَ مِمَّنْ عَزَلْتَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكَ. قُلْتُ: مَا أَرَى رَبَّكَ إِلاَّ يُسَارِعُ فِي هَوَاكَ
Aku merasa cemburu dengan para wanita yang menghibahkan diri mereka kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam5 sampai aku berkata, “Apakah pantas wanita menghibahkan dirinya (tidak malu)?” Maka tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat: "Engkau boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang engkau kehendaki di antara istri-istrimu dan boleh pula menggauli siapa yang engkau kehendaki. Dan siapa-siapa yang engkau ingini untuk menggaulinya kembali dari wanita yang telah engkau tolak/tinggalkan maka tidak ada dosa bagimu.”6
Aku berkata, “Tidaklah aku memandang Rabbmu kecuali mengadakan apa yang engkau inginkan tanpa menundanya dan menurunkan ketentuan yang engkau sukai dan engkau pilih7.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/272)
Namun dari sekian banyak wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak satu pun dari mereka yang beliau terima. Ini ditunjukkan dalam hadits Simak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
لَـمْ يَكُنْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم امْرَأَةً وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَهُ
“Tidak ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wanita yang menghibahkan dirinya kepada beliau.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ath-Thabari dan sanadnya hasan. Maksud hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dukhul dengan seorang pun dari wanita-wanita yang menghibahkan dirinya kepada beliau. Walaupun sebenarnya hal itu dibolehkan bagi beliau, karena perkaranya kembali kepada iradah/keinginan beliau. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا
“…Jika memang Nabi berkeinginan untuk menikahinya….” (Fathul Bari, 8/667)
Ayat ke-50 dari surah Al-Ahzab di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala tutup dengan firman-Nya:
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki, supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 50)
Ibnu Ka’b, Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, dan Ibnu Jarir berkata tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas, “Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri”, yakni dibatasi bagi mereka untuk memiliki empat istri dari kalangan wanita merdeka ditambah budak-budak wanita yang mereka inginkan berikut pensyariatan wali, mahar, dan saksi-saksi dalam pernikahan mereka. Ini berlaku bagi umatmu. Adapun engkau, Kami berikan rukhshah/keringanan/kekhususan sehingga Kami tidak wajibkan bagimu sesuatu pun dari perkara tersebut, “Supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/273)
Demikianlah, semoga menjadi kejelasan bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-shawab.


1 Maksudnya bila misalnya seorang wanita mengatakan, “Aku menghibahkan diri kepada si Fulan”, lalu si Fulan menjawab, “Saya menerima wanita yang menghibahkan dirinya tersebut sebagai istri.”
2 Zaid segan dan memandang mulia kepada Zainab karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memperistrinya.
3 Zaid datang kepada Zainab untuk menyampaikan pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan ia melihat Zainab sebagaimana kebiasaan mereka, karena hal ini terjadi sebelum turun perintah berhijab. Ketika rasa segan menguasainya, Zaid pun mundur dan menyampaikan pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan memunggunginya agar ia tidak melihat Zainab. (Al-Minhaj, 9/229)
4 Yaitu ayat: ???????? ????? ?????? ??????? ??????? ??????????????? “Maka tatkala Zaid telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), Kami menikahkannya denganmu (setelah habis masa iddahnya, pent.)…” (Al-Ahzab: 37) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian masuk menemui Zainab x tanpa meminta izin karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menikahkan Zainab radhiyallahu ‘anha dengan beliau dengan ayat ini. (Al-Minhaj, 9/230)
5 Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu, “Zahir kalimat ini menunjukkan bahwa wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu lebih dari satu.” (Fathul Bari, 8/667)
6 Al-Ahzab: 51
7 HR. Al-Bukhari no. 4788


di kutip dari : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=734

Ta'aruf Syar'i

Pertanyaan:
1. Apabila seorang muslim ingin menikah, bagaimana syariat mengatur cara mengenal seorang muslimah sementara pacaran terlarang dalam Islam?
2. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat masing-masing?
3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta) kepada akhwat (wanita) calon istrinya?

Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari:

بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ

Benar sekali pernyataan anda bahwa pacaran adalah haram dalam Islam. Pacaran adalah budaya dan peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir negeri Barat dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam (kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala), dengan dalih mengikuti perkembangan jaman dan sebagai cara untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Syariat Islam yang agung ini datang dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dengan tujuan untuk membimbing manusia meraih maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah yang akan merusak dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri.
Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram), pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa yang terlaknat– berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُوْنَ. كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ

“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.” (Al-Ma`idah: 79-78)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di atasnya, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan menjauhkan diri darinya. Hal itu karena dalam pacaran terdapat berbagai kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:
1. Ikhtilath, yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umatnya dari ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah, beliau perlu mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرِهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir, dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah . Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)
Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya –karena seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31, tanpa melakukan tabarruj karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka melakukan hal itu dalam surat Al-Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai wewangian berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang lainnya :

وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ

“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa saja dari mereka yang berbau harum karena terkena bakhur untuk untuk hadir shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 53:

وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ

“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi para shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An-Nazhar, hal. 11-10)
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah, instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
2. Khalwat, yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita, kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena setan akan menyertai keduanya.” (HR. Ahmad)
3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ

“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata . Mendengar ucapan wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga. Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits no. 16 22)
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً

“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al-Isra`: 32)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ

“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya), melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” (HR. Muslim)
Demikian pula dengan pandangan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman dalam surat An-Nur ayat 31-30:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوْجَهُمْ – إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى – وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ ...

“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan) –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang diharamkan)….”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ

“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang terlarang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا

“Maka janganlah kalian (para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang ma’ruf (baik).” (Al-Ahzab: 32)
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi (riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda:

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ

“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar) berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang membutuhkan pembahasan khusus .
Wallahu a’lam.

sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=425

Menikah dulu atau Menuntut ilmu??

Hari gini, dizaman fitnah yang masyaaAllah.. syubhat dan syahwat menyambar nyambar, sedang hati ini lemah.. sungguh suatu dilema bagi seorang pemuda. Menikah, atau menuntut ilmu..

Menikah.. tentu saja ingin, namun belum ada ma'isyah untuk menghidupi anak dan istri kelak.. tapi sungguh fitnah wanita di sekitar sudah menjadi pemandangan setiap hari. Bagaimana ini..
Menuntut ilmu itu wajib. Tapi.. dengan kondisi zaman yang seperti ini, bagaimana ini..??

Hal ini ditanyakan kepada Syaikh Rabi bin Hadi Al-Madkhali

Pertanyaan
Manakah yang harus didahulukan, Menuntut ilmu atau menikah? yang menjadi pertimbangan adalah, karena saya sudah tidak sabar ingin segera menikah.

Jawaban
Jika anda dapat bersabar, pilihlah menuntut ilmu dan bersabarlah. Seperti perkataan Umar RadhiAllahuanhu, “Carilah ilmu sebelum datang masa lemah”.

Dikarenakan, pernikahan dapat menjadi penghalang seseorang untuk menuntut ilmu. Setelah menikah, kebanyakan dari mereka berhenti menuntut ilmu serta ketekunannya berkurang.

Namun, jika Anda memiliki kemampuan (sanggup) untuk menggabungkan antara kedua hal yang bermanfaat tersebut, maka lakukanlah: Apabila anda takut terjatuh ke dalam perbuatan keji, zina, dll, maka menikahlah dengan tujuan mengharap ridho Allah. Supaya lebih menjaga diri, karena hal inilah yang lebih utama.

di co-ast dari sini http://oryza.or.id/2009/07/menikah-atau-menuntut-ilmu/

Tambahan dari penulis: komunikasikan kondisi anda dengan keluarga anda, barangkali ada jalan keluar. Saya tahu pasti betapa sulitnya hari gini untuk tetap istiqomah di atas syari'atnya...