Rss Feed

Wanita Menawarkan Diri, Bolehkah?


“Saya ingin menghibahkan diri kepada si Fulan”, demikian keinginan yang terucap dari seorang wanita. Ungkapan seperti ini tidak hanya sekali dua kali kita mendengarnya dan dinyatakan oleh lebih dari dua, tiga wanita.

Mereka berdalil dengan para sahabiyah yang menawarkan diri mereka untuk dinikahi oleh seorang yang shalih ataupun ditawarkan oleh para wali mereka. Namun sebenarnya ungkapan “menghibahkan diri” tidaklah tepat, bahkan tidak halal bagi seorang wanita menghibahkan dirinya kepada seorang lelaki.
Yang pantas mereka nyatakan adalah ingin menawarkan diri kepada orang shalih, dan ini dibolehkan sebagaimana pernah kami angkat dalam rubrik ini juga, pada edisi yang telah lalu.
Menghibahkan diri kepada seorang lelaki tidaklah dibolehkan karena dipahami bahwa nantinya si lelaki menikahi si wanita tanpa mahar dan tanpa wali. Yang seperti ini hanya berlaku secara khusus bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak bagi umat beliau. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang hal ini ketika menyebutkan wanita-wanita yang halal dinikahi oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamٍٍ:
وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“(Dan dihalalkan pula bagi Nabi ) wanita mukminah yang menghibahkan dirinya kepada Nabi jika memang Nabi berkeinginan untuk menikahinya sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua kaum mukminin.” (Al-Ahzab: 50)
Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam tafsirnya setelah membawakan ayat وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan: ‘Kami menghalalkan bagi Nabi, wanita mukminah yang menghibahkan dirinya kepada beliau tanpa mahar’.”
Ibnu Jarir melanjutkan, “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan bila Nabi-Nya berkenan menikahi wanita tersebut maka hal itu halal bagi beliau tanpa mahar, sebagai pengkhususan bagimu, yang berarti tidak halal bagi seorang pun dari umatmu untuk mendekati wanita yang menghibahkan dirinya kepadanya. Hukum ini hanyalah untukmu wahai Muhammad secara khusus, yang Aku khususkan bagimu dan tidak berlaku bagi seluruh umatmu.”
Kemudian Ibnu Jarir membawakan sanadnya sampai kepada Qatadah tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ, kata Qatadah, “Tidak boleh seorang wanita menghibahkan dirinya kepada seorang lelaki tanpa wali dan tanpa mahar, kecuali kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini merupakan kekhususan bagi beliau dan tidak berlaku bagi orang lain…” (Jami’ul Bayan, 10/310)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu mengatakan, “Ulama sepakat tentang tidak bolehnya seorang wanita menghibahkan dirinya. Dengan lafadz hibah ini1, tidaklah sempurna suatu pernikahan, kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan murid-muridnya. Mereka berkata, ‘Apabila seorang wanita menghibahkan dirinya kepada seorang lelaki lalu si lelaki mempersaksikan bahwa dirinya akan memberikan mahar kepada si wanita maka hal ini dibolehkan’.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 14/136)
Asy-Syaukani rahimahullahu menambahkan, “Adapun bila tanpa mahar maka tidak ada perbedaan pendapat bahwa hal itu khusus bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fathul Qadir, 4/350)
Ikrimah, Mujahid, Asy-Sya’bi, dan selain mereka, semuanya menyatakan bila ada seorang wanita menyerahkan dirinya kepada seorang lelaki maka kapan lelaki itu masuk berduaan (dukhul) dengan si wanita, wajib baginya menyerahkan mahar yang biasa diterima oleh wanita semisalnya. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/273)
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menetapkan hal ini kepada Barwa’ bintu Wasyiq, istri Hilal bin Murrah Al-Asyja’i. Barwa’ ini menghibahkan dirinya kepada Hilal yang kemudian menikahinya tanpa menyebutkan adanya mahar. Namun Hilal meninggal sebelum sempat menggauli istrinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan mahar untuk Barwa’ dengan mahar yang biasa diterima oleh wanita semisalnya. (Al-Isti’ab fi Asma`il Ashhab 2/491, Al-Ishabah fi Tamyizis Shahabah, 8/49)
Adapun bila seorang wanita menyerahkan dirinya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tidak ada sesuatu pun yang wajib beliau berikan kepada si wanita sekalipun beliau sampai dukhul dengannya. Karena beliau boleh menikah tanpa mahar, tanpa wali, dan tanpa saksi-saksi sebagaimana yang terjadi dalam kisah pernikahan/dukhulnya beliau dengan Zainab bintu Jahsyin radhiyallahu ‘anha seperti yang dikisahkan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
لمَاَّ انْقَضَتْ عِدَّةُ زَيْنَبَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِزَيْدٍ: فَاذْكُرْهَا عَلَيَّ. قَالَ: فَانْطَلَقَ زَيْدٌ حَتَّى أَتَاهَا وَهِيَ تُخَمِّرُ عَجِيْنَهَا. قَالَ: فَلَمَّا رَأَيْتُهَا عَظُمَتْ فِي صَدْرِيْ، حَتَّى مَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَنْظُرَ إِلَيْهَا أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم ذَكَرَهَا، فَوَلَّيْتُهَا ظَهْرِيْ وَنَكَصْتُ عَلَى عَقِبِيْ، فَقُلْتُ: يَا زَيْنَبُ، أَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَذْكُرُكِ. قَالَتْ: مَا أَنَا بِصَانِعَةٍ شَيْئًا حَتَّى أُوَامِرَ رَبِّي. فَقَامَتْ إِلَى مَسْجِدِهَا، وَنَزَلَ الْقُرْآنُ، وَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَدَخَلَ عَلَيْهَا بِغَيْرِ إِذْنٍ
Tatkala selesai masa iddahnya Zainab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, “Pinangkan dia untukku dengan menyampaikan langsung kepadanya.” Anas berkata, “Pergilah Zaid hingga datang ke tempat Zainab yang ketika itu sedang memberi ragi adonan rotinya. Kata Zaid, “Ketika aku melihatnya, terasa agungnya dia dalam dadaku2, sampai-sampai aku tidak mampu memandangnya dikarenakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dirinya (ingin menikahinya). Aku pun membelakanginya dengan punggungku dan mundur ke belakang3. Aku katakan, “Wahai Zainab! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk melamarmu.” Zainab menjawab, “Aku tidak akan melakukan apa-apa sampai aku beristikharah dengan Rabbku.” Zainab pun bangkit menuju ke tempat shalatnya dan ayat Al-Qur`an turun4. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang lalu masuk menemui Zainab tanpa meminta izin.” (HR. Muslim no. 3488)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menyinggung kekhususan hukum ini untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Wanita yang pernah menghibahkan dirinya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak. Sebagaimana kata Al-Imam Al-Bukhari: ‘Telah menyampaikan kepada kami Zakariya bin Yahya, ia berkata: Telah menyampaikan kepada kami Abu Usamah, ia berkata: ‘Telah menyampaikan kepada kami Hisyam bin Urwah, dari bapaknya, dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
كُنْتُ أَغَارُ مِنَ اللَّاتِي وَهَبْنَ أَنْفُسَهُنَّ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَقُوْلُ: أَتَهِبُ الْمَرْأَةُ نَفْسُهَا؟ فَلَمَّا أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: تُرْجِي مَنْ تَشَاءُ مِنْهُنَّ وَتُؤْوِي إِلَيْكَ مَنْ تَشَاءُ وَمَنِ ابْتَغَيْتَ مِمَّنْ عَزَلْتَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكَ. قُلْتُ: مَا أَرَى رَبَّكَ إِلاَّ يُسَارِعُ فِي هَوَاكَ
Aku merasa cemburu dengan para wanita yang menghibahkan diri mereka kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam5 sampai aku berkata, “Apakah pantas wanita menghibahkan dirinya (tidak malu)?” Maka tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat: "Engkau boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang engkau kehendaki di antara istri-istrimu dan boleh pula menggauli siapa yang engkau kehendaki. Dan siapa-siapa yang engkau ingini untuk menggaulinya kembali dari wanita yang telah engkau tolak/tinggalkan maka tidak ada dosa bagimu.”6
Aku berkata, “Tidaklah aku memandang Rabbmu kecuali mengadakan apa yang engkau inginkan tanpa menundanya dan menurunkan ketentuan yang engkau sukai dan engkau pilih7.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/272)
Namun dari sekian banyak wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak satu pun dari mereka yang beliau terima. Ini ditunjukkan dalam hadits Simak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
لَـمْ يَكُنْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم امْرَأَةً وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَهُ
“Tidak ada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wanita yang menghibahkan dirinya kepada beliau.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ath-Thabari dan sanadnya hasan. Maksud hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dukhul dengan seorang pun dari wanita-wanita yang menghibahkan dirinya kepada beliau. Walaupun sebenarnya hal itu dibolehkan bagi beliau, karena perkaranya kembali kepada iradah/keinginan beliau. Ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا
“…Jika memang Nabi berkeinginan untuk menikahinya….” (Fathul Bari, 8/667)
Ayat ke-50 dari surah Al-Ahzab di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala tutup dengan firman-Nya:
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki, supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 50)
Ibnu Ka’b, Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, dan Ibnu Jarir berkata tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas, “Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri”, yakni dibatasi bagi mereka untuk memiliki empat istri dari kalangan wanita merdeka ditambah budak-budak wanita yang mereka inginkan berikut pensyariatan wali, mahar, dan saksi-saksi dalam pernikahan mereka. Ini berlaku bagi umatmu. Adapun engkau, Kami berikan rukhshah/keringanan/kekhususan sehingga Kami tidak wajibkan bagimu sesuatu pun dari perkara tersebut, “Supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/273)
Demikianlah, semoga menjadi kejelasan bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-shawab.


1 Maksudnya bila misalnya seorang wanita mengatakan, “Aku menghibahkan diri kepada si Fulan”, lalu si Fulan menjawab, “Saya menerima wanita yang menghibahkan dirinya tersebut sebagai istri.”
2 Zaid segan dan memandang mulia kepada Zainab karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memperistrinya.
3 Zaid datang kepada Zainab untuk menyampaikan pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan ia melihat Zainab sebagaimana kebiasaan mereka, karena hal ini terjadi sebelum turun perintah berhijab. Ketika rasa segan menguasainya, Zaid pun mundur dan menyampaikan pinangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan memunggunginya agar ia tidak melihat Zainab. (Al-Minhaj, 9/229)
4 Yaitu ayat: ???????? ????? ?????? ??????? ??????? ??????????????? “Maka tatkala Zaid telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), Kami menikahkannya denganmu (setelah habis masa iddahnya, pent.)…” (Al-Ahzab: 37) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian masuk menemui Zainab x tanpa meminta izin karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menikahkan Zainab radhiyallahu ‘anha dengan beliau dengan ayat ini. (Al-Minhaj, 9/230)
5 Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu, “Zahir kalimat ini menunjukkan bahwa wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu lebih dari satu.” (Fathul Bari, 8/667)
6 Al-Ahzab: 51
7 HR. Al-Bukhari no. 4788


di kutip dari : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=734

1 komentar:

Anonymous said...

mengapa tidak:)